Bagian Ketiga
Agama, Manusia, dan Kenabian
A. Mengenal Agama
Selama ini kita mengenal agama sebatas sebagai identitas suatu komunitas. Artinya agama hanya sebagai realita sosial yang harus ada. Dengan begitu artinya kita memandang agama sebagai suatu keharusan namun datang kemudian setelah adanya realitas sosial. Sekian banyak teori tentang agama yang dipelajari, tetapi wujud agama tidak ditemukan. Apa bukti bahwa wujud agama tidak ditemukan? Kita dapat melihat fakta bahwa fungsi agama tidak dirasakan dalam banyak kehidupan di permukân bumi ini. Agama sering diterjemahkan dari kata “al-dîn”. Sebenarnya “agama” itu bentuk if’al dari “al dîn”. keterangan dan kefahaman bahwa “al-dînu huwa al-iqâmaṯ”. Keterangan ini dapat diterjemahkan bahwa al-dîn itu adalah pendirian. Al-iqîmaṯ juga bisa diartikan tanda menetap atau seperti kartu tanda penduduk. Tinggal nanti dalam beragama itu menetap di mana, dan apanya yang tetap dari orang yang beragama itu, dan bagaimana cara menetapnya. Kata al-iqâmaṯ satu Isytiqâq atau asal kata dengan qâmâ qiyâman, yang jika diterjemahkan adalah ‘berdiri’. Aqâma artinya mendirikan, maka iqâmamatan/iqâmaṯ artinya pendirian. Sesungguhnya agama itu untuk mengurus wujud
yang di dalam fisik. Wujud yang di dalam fisik itu disebut unsur “ruhaniyah”. Di dalam ajaran Islam, wujud yang di dalam fisik ini dikenal dengan nama “ruh’. Ia datang kemudian empat bulan sepuruh hari ke dalam rahim seorang ibu untuk menyempurnakan kejadian manusia yang sedang dikandung oleh seorang ibu tersebut. Ruh ini di zaman azalinya, atau di tempat asalnya disebut “mukmin”. Mukmin ini sebenarnya nama ruh sebelum bertugas ke dalam dada manusia. Inilah sebenarnya ushul atau sebab dari misi kenabian.
B. Mengenal Manusia dan Mukmin
Jika manusia itu bukan tubuhnya, maka bahasan
tentang manusia harus mengarah kepada sesuatu yang sifatnya non lahiriah. Maka nanti manusia itu tidak dapat untuk mewujud menjadi orang takqwa. Keduanya samasama non lahiriah, tetapi insân/manusia menunjuk orang yang tidak luput dari jeratan hawa-nafsu-dunia-setan. Jadi wujud tubuh yang tampil dengan sifat seperti di atas itulah wujud diri yang menjadi manusia. Sekali lagi manusia itu bukan fisik tetapi non fisik. Dia adalah “the soft negatif eksistention” sebagai wujud yang secara prontal dan mutlak berseberangan dengan îmân. Îmân itu adalah kepercayân Allah. Dialah yang dizinkan Allah dan diberi kuasa menggerakkan jasad sebagai tempat landingnya.
C. Misi Tunggal Kenabian
Jika menyimak uraian tentang menganal manusia dan mukmin di atas, ternyata ruh diutus ke dalam manusia itu sama dengan diutus ke dalam bahaya. Yaitu diutus ke dalam dunia perjuangan. Di dalam tubuh manusia ruh berhadapan dengan sifat dasar manusia yaitu hawa=nafsu-sunia-seta. Akabatnya ruh atau mukmin yang diertakan kepadanya sifat sihddiq-amanah-tablighfathana, luluh kadang lebuh ke dalam sifat insan, maka yang sering tampak oleh perilaku ruh adalah sifat insan atau manusia tadi. Menurut riwayat Abu Dzar bahwa Rasul perah menyampaikan tentang julah utusan Tuhan yaitu para auliya-anbiya itu sebanyak 124.313 orang. Sedangan jumlah kitab yang mutawatir dikabarnya hanya 104 kitab, yaitu 10 kepada nabi Adam, 50 kepada nabi Tsis, 30 kepada nabi Idris, 10 kapada nabi Ibrahim, dan kepada nabi Daud, Musa, Isa, Muhammad masing masing satu kitab. Artinya kalimat “ wa anzala ma’ahum al-kitâba” pada teks di atas bukan kitab yang tergores di atas kertas seperti yang 104 kitab itu. Inilah sesungguhnya misi semua auliya-anbiya. Sebagai konvensasi atas ditugaskannya ruh ke dalam jasad manusia, Tuhan mengutus para utusannya. Sehingga ruh yang telah menjadi manusia di dalam dada manusia itu dapat menilai dirinya atas semua perilaku dalam tindak dan katanya. Kemudian misi puncak dari seluruh para auliya-anbiya itu adalah supaya ruh itu menjadi kembali. Lalu secara seragam isntrumen kebaikan itu adalah bahwa semua kaum para auliya-anbiya itu dikenalkan kepada temoat di mana hati mereka dapat diurus Tuhan, yaitu Baitullah. Para auliya-anbiya mengenal tempat itu dan membawa kaumnya ke baitullah itu secara hakikat. Artinya buken fisik mereka yang dibawa ke sana, melainkan wajah dirinya berupa ingatan.
Komentar
Posting Komentar